Domba-dombaku mendengarkan suara-Ku, sabda Tuhan. Aku mengenal mereka dan mereka mengikuti Aku. (Yoh 10:27) ~ Lingkungan Griya Pesona, St Paskalis Klari ~
Kamis, 23 April 2015
Santo Albrtus
St.Albertus dilahirkan pada tahun 1250 di Kerajaan Sicilia, tepatnya di kota Trapani dari pasangan suami-istri bernama Benedictus de’Abbati dan Joana de Salzi setelah mereka berdua menikah selama 26 tahun tanpa anak. Selama itu mereka memohon kemurahan Tuhan, khususnya dengan bantuan Bunda Maria, agar mereka dikaruniai anak. Mereka bahkan berjanji akan mempersembahkannya kembali kepada Tuhan jika permohonan itu dikabulkan. Janji itu tak dapat mereka ingkari ketika Tuhan menganugerahkan kemurahan-Nya dengan kelahiran Albertus yang ‘hanya’ sempat tinggal bersama mereka selama lebih-kurang 14 tahun.
Pada usia delapan tahun, Albertus sudah ditentukan oleh seorang pangeran sebagai calon mempelai putrinya jika mereka sudah dewasa. Namun Albertus menolak karena pada saat itu ia sudah berniat masuk Ordo Karmel. Protesnya kepada orangtuanya khas anak-anak: “Sebelum Ayah-Bunda memberikan izin kepada saya untuk hidup membiara, saya tidak akan menyentuh makanan maupun minuman!”
Ketika ditolak masuk biara karena kemudaan usianya, kepada pembesar biara ‘St.Maria Menerima Kabar Gembira’ di Trapani, sambil bercucuran air mata ia mengatakan: “Pater, untuk memberikan bukti pertama dari ketaatan saya, pada saat ini juga saya akan pulang kembali ke rumah.”
Karena perlindungan St.Maria terhadap niat kedua orangtuanya dan keistimewaan Albertus yang telah dipilih Tuhan, perjuangannya untuk menjadi biarawan Karmelit tak pernah dapat dipadamkan oleh berbagai kenikmatan hidupnya sebagai putra keluarga bangsawan. Tak ada lagi yang dapat menahan keinginannya. Pada tahun 1264 ia menerima pakaian biara. Segera sesudahnya ia membagi-bagikan pakaiannya sendiri kepada orang-orang miskin.
Sejak awal hidup membiaranya Albertus memang tidak puas akan kebajikan yang biasa. Semakin sering ia menyangkal diri, semakin sering ia tertarik untuk meningkatkannya. Daya tahan dan kepandaiannya berbicara sangat luar biasa, sehingga seorang sarjana menamainya: ‘Sebuah Arus Nasihat’. Ia bekerja dengan tangannya ketika menulis buku-buku ilmiah atau tentang ketakwaan kepada Tuhan, atau bila ia melaksanakan pekerjaan-pekerjaan di biara. Ia bekerja dengan lidahnya bila ia menerangkan isi Injil Suci kepada umat. Ia bekerja dengan pikirannya bila ia mencermati karya tulisnya. Pendek kata, ia bekerja agar Tuhan berkenan kepadanya untuk mengenyahkan setan yang tak mampu lagi menembus jiwanya. Maka, dengan gagah berani ia dapat merebut para pendosa dari cakar-cakar kuasa kegelapan. Melalui matiraga yang ketat, ia mencapai kesempurnaan yang dikehendaki Tuhan.
Meskipun demikian, Albertus tetap rendah hati. Ketika ia diminta menyiapkan diri untuk ditahbiskan menjadi imam, ia berkata: “Seorang imam harus suci, sedangkan saya hanyalah seorang yang berdosa besar; ia harus menyerupai matahari yang menerangi orang-orang lain, sedangkan jiwa saya sedemikian lemah, sehingga membutuhkan bantuan yang kuat.” Tetapi Tuhan telah memilihnya menjadi imam. Maka ia pun ditahbiskan oleh Uskup Agung Messina. Beberapa tahun kemudian ia diangkat sebagai provinsial walaupun sudah berusaha menolaknnya karena merasa tak layak dibandingkan saudara-saudara seserikat yang memilihnya.
Dalam segala hal, hidup Albertus diarahkan bagi bertambah besarnya keluhuran Tuhan, keselamatan jiwa-jiwa sesamanya, kecemerlangan dan perkembangan serikatnya. Meskipun ia menganggap pujian sebagai jebakan yang dipasang untuk menjerat kebajikannya, ia tidak dapat menghindari sorak-sorai umat yang tercengang karena Tuhan mengadakan berbagai mukjizat dengan perantaraannya. Meskipun pada usia 57 tahun kesehatannya masih sangat baik, tetapi karena mengetahui dari bisikan ilahi bahwa akhir hidupnya sudah dekat, ia meletakkan jabatannya sebagai provinsial dan mengasingkan diri di sebuah biara yang sudah hampir menyerupai timbunan reruntuhan akibat perang.
Dalam waktu singkat, keadaan biara yang tak layak dihuni itu menyebabkan kesehatannya merosot tajam. Suatu malam ia memanggil para saudara seserikatnya di biara Messina dan menyampaikan pesan-pesan terakhirnya agar mereka semua setia pada kaul-kaul kekal kebiaraan dan kepada Tahta Santo Petrus. Kemudian ia meninggalkan dunia fana ini dengan tenang sesudah mengulangi perkataan Sang Penebus menjelang wafat-Nya: “Bapa, ke dalam tangan-Mu, kuserahkan jiwaku!”
Uskup Agung Messina dan Raja Frederik menjemput jenazah suci itu dan dibawa dalam perarakan ke gereja kathedral untuk disemayamkan di altar utama. Rakyat menuntut agar bagi Albertus dipersembahkan ‘Misa Pengaku Iman’, bukan ‘Misa Arwah’ (Requiem). Sesudah beberapa hari jenazahnya dimasukkan ke sebuah makam batu di gereja para Karmelit. Raja dan para rohaniwan maupun umat segera memohon ke Tahta Suci agar mengumumkan pengesahan Albertus sebagai orang kudus. Namun pelaksanaan keputusan itu selalu tertunda akibat suasana keruh yang ditimbulkan oleh perang yang yang berulang-ulang sehingga memorakporandakan Sicilia.
Baru pada 31 Mei 1476, Paus Sixtus IV mengumumkan Bulla Caelestis aulae militum yang menyatakan Albertus sah mendapat sebuah tempat di antara para kudus untuk selamanya. (Sumber: “Sukses Alumni Dempo” – 1996, A-7)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar