Minggu, 07 Juni 2015

Santa Anna dan Santo Yoakim


Santa Anna dan Santo Yoakim, Orangtua Santa Perawan Maria



Anna dan Yoakim adalah orangtua kandung Santa Perawan Maria, Bunda Yesus, Putera Allah. Keduanya dikenal sebagai keturunan raja Daud yang setia menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya serta dengan ikhlas mengasihi dan mengabdi Allah dan sesamanya. Oleh karena itu keduanya layak di hadapan Allah untuk turut serta dalam karya keselamatan Allah.

Dalam buku-buku umat Kristen abad ke-2, nama ibu Anna sangat harum. Diceritakan bahwa sejak perkawinannya dengan Yoakim, Anna tak henti-hentinya mengharapkan karunia Tuhan berupa seorang anak. Namun cukup lama ia menantikan tibanya karunia Allah itu. Sangat boleh jadi bahwa Anna sesekali menganggap keadaan dirinya yang tak dapat menghasilkan keturunan itu sebagai hukuman bahkan kutukan Allah atas dirinya, sebagaimana anggapan umum masyarakat Yahudi pada waktu itu. Karena itu diceritakan bahwa ia tak henti-hentinya tanpa putus asa berdoa kepada Allah agar kiranya kenyataan pahit itu ditarik Allah dari padanya. Setiap tahun, Anna bersama Yoakim suaminya berziarah ke Bait Allah Yerusalem untuk berdoa. Ia berjanji, kalau Tuhan menganugerahkan anak kepadanya, maka anak itu akan dipersembahkan kembali kepada Tuhan.

Syukurlah bahwa suatu hari malaikat Tuhan mengunjungi Anna yang sudah lanjut usia itu membawa warta gembira ini: "Tuhan berkenan mendengarkan doa ibu! Ibu akan melahirkan seorang anak perempuan, yang akan membawa suka cita besar bagi seluruh dunia!" Dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang besar, Anna menceritakan warta malaikat Tuhan itu kepada Yoakim. Setelah genap waktunya, lahirlah seorang anak wanita yang manis. Bayi ini diberi nama Maria, yang kelak akan memperkandungkan Putera Allah, Yesus Kristus, Juru Selamat dunia. Bagi Anna, Maria lebih merupakan buah rahmat Allah daripada buah koderat manusia. Kelahiran Maryam menyemarakkan bahkan menyucikan kehidupannya dan kehidupan keluarganya.

Kehidupan ibu Anna tidak diceritakan di dalam Injil-Injil. Kisah tentang hidupnya diperoleh dari sebuah cerita apokrif. Cerita ini secara erat berkaitan dengan kisah Perjanjian Lam tentang Anna, ibu Samuel. Ibu Anna dihormati sebagai pelindung kaum ibu, khususnya yang sedang hamil dan sibuk mengurus keluarganya. Orang-orang Yunani mendirikan sebuah basilik khusus di Konstantinopel pada tahun 550 untuk menghormati ibu Anna. Di kalangan Gereja Barat, Paus Gregorius XIII (1572-1585) menggalakkan penghormatan kepada ibu Anna diseluruh Gereja pada tahun 1584. Nama Yoakim dan Anna sungguh sesuai dengan maksud pilihan Allah. Yoakim berarti "Persiapan bagi Tuhan", sedangkan Anna berarti "Rahmat atau Karunia".

Kamis, 23 April 2015

Santo Albrtus




St.Albertus dilahirkan pada tahun 1250 di Kerajaan Sicilia, tepatnya di kota Trapani dari pasangan suami-istri bernama Benedictus de’Abbati dan Joana de Salzi setelah mereka berdua menikah selama 26 tahun tanpa anak. Selama itu mereka memohon kemurahan Tuhan, khususnya dengan bantuan Bunda Maria, agar mereka dikaruniai anak. Mereka bahkan berjanji akan mempersembahkannya kembali kepada Tuhan jika permohonan itu dikabulkan. Janji itu tak dapat mereka ingkari ketika Tuhan menganugerahkan kemurahan-Nya dengan kelahiran Albertus yang ‘hanya’ sempat tinggal bersama mereka selama lebih-kurang 14 tahun.
Pada usia delapan tahun, Albertus sudah ditentukan oleh seorang pangeran sebagai calon mempelai putrinya jika mereka sudah dewasa. Namun Albertus menolak karena pada saat itu ia sudah berniat masuk Ordo Karmel. Protesnya kepada orangtuanya khas anak-anak: “Sebelum Ayah-Bunda memberikan izin kepada saya untuk hidup membiara, saya tidak akan menyentuh makanan maupun minuman!”
Ketika ditolak masuk biara karena kemudaan usianya, kepada pembesar biara ‘St.Maria Menerima Kabar Gembira’ di Trapani, sambil bercucuran air mata ia mengatakan: “Pater, untuk memberikan bukti pertama dari ketaatan saya, pada saat ini juga saya akan pulang kembali ke rumah.”
Karena perlindungan St.Maria terhadap niat kedua orangtuanya dan keistimewaan Albertus yang telah dipilih Tuhan, perjuangannya untuk menjadi biarawan Karmelit tak pernah dapat dipadamkan oleh berbagai kenikmatan hidupnya sebagai putra keluarga bangsawan. Tak ada lagi yang dapat menahan keinginannya. Pada tahun 1264 ia menerima pakaian biara. Segera sesudahnya ia membagi-bagikan pakaiannya sendiri kepada orang-orang miskin.
Sejak awal hidup membiaranya Albertus memang tidak puas akan kebajikan yang biasa. Semakin sering ia menyangkal diri, semakin sering ia tertarik untuk meningkatkannya. Daya tahan dan kepandaiannya berbicara sangat luar biasa, sehingga seorang sarjana menamainya: ‘Sebuah Arus Nasihat’. Ia bekerja dengan tangannya ketika menulis buku-buku ilmiah atau tentang ketakwaan kepada Tuhan, atau bila ia melaksanakan pekerjaan-pekerjaan di biara. Ia bekerja dengan lidahnya bila ia menerangkan isi Injil Suci kepada umat. Ia bekerja dengan pikirannya bila ia mencermati karya tulisnya. Pendek kata, ia bekerja agar Tuhan berkenan kepadanya untuk mengenyahkan setan yang tak mampu lagi menembus jiwanya. Maka, dengan gagah berani ia dapat merebut para pendosa dari cakar-cakar kuasa kegelapan. Melalui matiraga yang ketat, ia mencapai kesempurnaan yang dikehendaki Tuhan.
Meskipun demikian, Albertus tetap rendah hati. Ketika ia diminta menyiapkan diri untuk ditahbiskan menjadi imam, ia berkata: “Seorang imam harus suci, sedangkan saya hanyalah seorang yang berdosa besar; ia harus menyerupai matahari yang menerangi orang-orang lain, sedangkan jiwa saya sedemikian lemah, sehingga membutuhkan bantuan yang kuat.” Tetapi Tuhan telah memilihnya menjadi imam. Maka ia pun ditahbiskan oleh Uskup Agung Messina. Beberapa tahun kemudian ia diangkat sebagai provinsial walaupun sudah berusaha menolaknnya karena merasa tak layak dibandingkan saudara-saudara seserikat yang memilihnya.
Dalam segala hal, hidup Albertus diarahkan bagi bertambah besarnya keluhuran Tuhan, keselamatan jiwa-jiwa sesamanya, kecemerlangan dan perkembangan serikatnya. Meskipun ia menganggap pujian sebagai jebakan yang dipasang untuk menjerat kebajikannya, ia tidak dapat menghindari sorak-sorai umat yang tercengang karena Tuhan mengadakan berbagai mukjizat dengan perantaraannya. Meskipun pada usia 57 tahun kesehatannya masih sangat baik, tetapi karena mengetahui dari bisikan ilahi bahwa akhir hidupnya sudah dekat, ia meletakkan jabatannya sebagai provinsial dan mengasingkan diri di sebuah biara yang sudah hampir menyerupai timbunan reruntuhan akibat perang.
Dalam waktu singkat, keadaan biara yang tak layak dihuni itu menyebabkan kesehatannya merosot tajam. Suatu malam ia memanggil para saudara seserikatnya di biara Messina dan menyampaikan pesan-pesan terakhirnya agar mereka semua setia pada kaul-kaul kekal kebiaraan dan kepada Tahta Santo Petrus. Kemudian ia meninggalkan dunia fana ini dengan tenang sesudah mengulangi perkataan Sang Penebus menjelang wafat-Nya: “Bapa, ke dalam tangan-Mu, kuserahkan jiwaku!”
Uskup Agung Messina dan Raja Frederik menjemput jenazah suci itu dan dibawa dalam perarakan ke gereja kathedral untuk disemayamkan di altar utama. Rakyat menuntut agar bagi Albertus dipersembahkan ‘Misa Pengaku Iman’, bukan ‘Misa Arwah’ (Requiem). Sesudah beberapa hari jenazahnya dimasukkan ke sebuah makam batu di gereja para Karmelit. Raja dan para rohaniwan maupun umat segera memohon ke Tahta Suci agar mengumumkan pengesahan Albertus sebagai orang kudus. Namun pelaksanaan keputusan itu selalu tertunda akibat suasana keruh yang ditimbulkan oleh perang yang yang berulang-ulang sehingga memorakporandakan Sicilia.
Baru pada 31 Mei 1476, Paus Sixtus IV mengumumkan Bulla Caelestis aulae militum yang menyatakan Albertus sah mendapat sebuah tempat di antara para kudus untuk selamanya. (Sumber: “Sukses Alumni Dempo” – 1996, A-7)

Santo Yustinus


Santo Yustinus, Martir


Yustinus lahir dari sebuah keluarga kafir di Nablus, Samaria, Asia Kecil pada permulaan abad kedua kira-kira pada kurun waktu meninggalnya Santo Yohanes Rasul.

Yustinus mendapat pendidikan yang baik semenjak kecilnya. Kemudian ia tertarik pada pelajaran filsafat untuk memperoleh kepastian tentang makna hidup ini dan tentang Allah. Suatu ketika ia berjalan-jalan di tepi pantai sambil merenungkan berbagai soal. Ia bertemu dengan seorang orang-tua. Kepada orang tua itu, Yustinus menanyakan berbagai soal yang sedang direnungkannya. Orang tua itu menerangkan kepadanya segala hal tentang para nabi Israel yang diutus Allah, tentang Yesus Kristus yang diramalkan para nabi serta tentang agama Kristen. Ia dinasehati agar berdoa kepada Allah memohon terang surgawi.

Di samping filsafat, ia juga belajar Kitab Suci. Ia kemudian dipermandikan dan menjadi pembela kekristenan yang tersohor. Sesuai kebiasaan jaman itu, Yustinus pun mengajar di tempat-tempat umu, seperti alun-alun kota, dengan mengenakan pakaian seorang filsuf. Ia juga menulis tentang berbagai masalah, tertutama yang menyangkut pembelaan ajaran iman yang benar. Di sekolahnya di Roma, banyak kali diadakan perdebatan umum guna membuka hati banyak orang bagi kebenaran iman Kristen.

Yustinus bangga bahwa ia menjadi seoranng Kristen yang saleh, dan ia bertekad meluhurkan kekristenan dengan hidupnya. Dalam bukunya, "Percakapan dengan Truphon Yahudi", Yustinus menulis: "Meski kami orang Kristen dibunuh dengan pedang, disalibkan, atau di buang ke moncong- moncong binatang buas, ataupun disiksa dengan belenggu api, kami tidak akan murtad dari iman kami. Sebaliknya, semakin hebat penyiksaan, semakin banyak orang demi nama Yesus, bertobat dan menjadi saleh."

Di Roma, Yustinus ditangkap dan bersama para martir lainnya dihadapkan dihadapankan ke depan penguasa Roma. Setelah banyak disesah, kepala mereka dipenggal. Peristiwa ini terjadi pada tahun 165. Yustinus dikenal sebagai seorang pembela iman terbesar pada zaman Gereja Purba.

Santa Clara dari Asisi


Clara adalah seorang puteri bangsawan dari kota Assisi ltalia. la dilahirkan pada tahun 1193 dari ibu yang bernama Hortulana dan ayah bernama Favarone. Meskipun Clara tinggal di dalam kemewahan istana kedua orang tuanya, namun ia tidak tarlarut di dalamnya. Menurut kesaksian, dalam proses peresmian Clara sebagai orang kudus, suster Pacifica de Guelfuccio – sebagai saksi I – yang merupakan teman dekat Clara dan bertempat tinggal dekat rumah Clara – mengatakan bahwa Clara adalah seorang puteri yang saleh, banyak melakukan ulah tapa dan berdoa. la iuga biasa mengunjungi orang-orang miskin, memberi derma dan membawakan makanan untuk mereka.

Clara sebagai puteri bangsawan, mendapatkan pendidikan yang lazim bagi para puteri bangsawan di zaman itu. Pendidikan itu mencakup pendidikan agama, ketrampilan yang diperlukan sebagai seorang puteri bangsawan seperti: mengurus dapur rumah tangga besar, menjahit, memintal dan menyulam, juga pendidikan membaca, menulis dan bahasa Latin sebagai bahasa resmi yang digunakan pada masa itu. Seluruh pendidikan ditempuh di rumah dengan mendatangkan guru-guru. Clara seorang yang cerdas. Ini terbukti dari tulisan-tulisannya. la ternyata juga trampil. Dari kesaksian dalam proses kanonisasi, terungkap bahwa Clara biasa membuat corporal, kain penutup Altar yang kemudian dikirim ke gereja-gereja di sekitar kota Assisi. la juga membuat alba, dalmatika, bahkan pernah membuat sepatu sandal dari kulit halus khusus untuk kaki Fransiskus dari Assisi yang terluka karena Stigmata.

Clara seorang pribadi yang berani dan tegas. Ketika telah berusia sekitar 17 tahun, saat harus menentukan arah hidupnya, Clara menolak dengan tegas rencana pernikahan yang diperuntukkan baginya, Clara tidak mau menyesuaikan diri dangan pola hidup tradisional puteri bangsawan pada masa itu.

Hari Minggu Palma malam, tanggal 18 Maret 1212, merupakan saat titik balik hidup Clara. Malam itu bersama Pacifica, Clara melarikan diri dari rumah untuk memulai suatu kehidupan yang dicita-citakannya; suatu pelarian yang telah direncanakan secara matang selama satu tahun bersama Fransiskus dan yang direstui oleh uskup kota Assisi yaitu Uskup Guido. Malam itu juga di kapel kecil Portiuncula Clara menerima jubah seperti yang dikenakan olah Fransiskus beserta kawan-kawannya dan mendapat “tonsura“ para rubiah, Fransiskus sendirilah yang momotong rambut Clara dan memberinya kerudung. Untuk sementara Clara bersama Pacifica tinggal di biara Benediktines guna melindungi diri dari tindakan kekerasan ayah Clara yang ingin mengambil paksa dirinya.

Pada awal bulan Mei 1212, Clara mendapat hadiah dari Uskup Guido yakni sebuah kompleks kecil dengan gereja San Damiano yang terletak kurang lebih satu kilometer jauhnya dari kota Assisi. Setelah menempati kompleks kecil di San Damiano itu, Clara dan para saudari menerima dari Fransiskus petunjuk/pedoman tentang pola hidup injili yang mau diikuti. Sejak Clara menempati biara kecil itu Allah terus menambah jumlah saudari-saudari di San Damiano. Tercatat pada tahun 1233 jumlah penghuni San Damiano mencapai 50 orang.
Jenasah santa clara masih tetap utuh


Pada tahun 1215/1216 Clara mengajukan kepada Paus Innocentius III suatu “Privilegium” (hak istimewa) untuk tidak memiliki harta milik tetap, maksudnya sabagai jaminan hidup bagi Clara dan para saudarinya. Pormohonan Clara tersebut dikabulkan oleh Paus Innocentius III. Berdasarkan “Privilegium Paupertatis” ini Clara dan kelompoknya yang belum memiliki Anggaran Dasar telah diakui sebagai suatu lembaga di dalam tata hukum Gereja. Dengan cara demikian Clara dapat melaksanakan cara hidup yang dicita-citakan dengan berpedoman “Pola Dasar Hidup” karangan Fransiskus dan “Privilegium Paupertatis” yang diterimanya.


Pada tahun 1219, ciri gaya hidup kelompok Clara yang lain dipertegas. Secara resmi San Damiano menerima pingitan. Praktek itu sebelumnya sudah ada, tetapi secara hukum dipertegas. Sejak semula Clara memilih gaya hidup kontemplatif dan dalam kerangka hidup kontemplatif itu ia mau mewujudkan cita-citanya, Ia mau menjadi Hati dan Jantung Gereja, penggerak dari dalam dan sumber hidup. Sejak semula Clara menyadari diri sebagai “pembantu Allah” dan “penopang Gereja.” Dengan caranya sendiri ia mau memberikan sumbangannya kepada seluruh umat Allah.

Pada tahun 1227 Kardinal Hugolinus, sahabat dan pendukung Clara dipilih menjadi Paus dengan nama Gregorius IX (tahun 1227-1241). Segera Clara mengajukan permohonan, agar “Privilegium Paupertatis” diteguhkan kembali secara tertulis. Clara ingin sejak awal mengamankan mutiara itu. Pada tanggal 25 Mei – 17 Juli 1228, Gregorius IX tinggal di Perugia dan Assisi. Pada tahun itu, di Perugia, Gregorius mengabulkan permohonan Clara. Paus Gregorius IX menyalin surat Paus Innocentius lll, tetapi dengan mempersingkatnya sedikit. Beliau tetap prihatin kalau-kalau kemiskinan seperti dicita-citakan Clara kurang realistis, apalagi mengingat situasi sosio-politik masa itu yang memang kurang mantap dan aman. Maka Paus tetap merasa perlu memberi jaminan hidup bagi kelompok di San Damiano. Beliau menawarkan kepada Clara harta milik tetap (tanah, kebun anggur, dll.) serta bersedia memberikan dispensasi, kalau mereka merasa diri terikat pada janji mereka dahulu.

Namun Clara menjawab dengan tegas dan sekaligus menyingkapkan dasar terdalam bagi kemiskinan yang diinginkannya. Ia menegaskan: “Kami tidak ingin sama sekali dibebaskan dari hal mengikuti jejak Kristus.”

Clara menyadari cita-cita dasariahnya dapat “terancam” dari pihak pimpinan tertinggi dalam Gereja. Clara juga tidak dapat menaruh terlalu banyak kepercayaan pada Saudara-Saudara Dina. Sebab pengikut-pengikut Fransiskus terus bertikai satu-sama lain mengenai gaya hidup. Ada sejumlah saudara yang ingin meneruskan gaya hidup semula, yang mengandalkan kemiskinan mutlak, tatapi ada juga sekelompk saudara yang mendukung perkembangan ordo ke arah memperlunak praktek kemiskinan yang dihayati dan dijalani Fransiskus.

Dalam situasi semacam itu Clara merasa perlu menyusun Anggaran Dasarnya sendiri dan mengusahakan pengesahan oleh takhta apostolik. Hal ini samakin mendesak oleh karena penyakit Clara semakin parah. Pada tahun 1250, ia mengalami masa kritis, sehingga sudah diberi sakramen pengurapan orang sakit. Memang Clara menjadi sedikit lebih baik, akan tetapi jelaslah bahwa hidupnya tidak lama lagi. Selanjutnya Clara hampir terus menerus berbaring di tempat tidurnya.

Sekitar tahun 1251 Clara selesai menyusun Anggaran Dasarnya sendiri, yang mungkin sudah mulai disusun sajak tahun 1247. Anggaran Dasar Clara itu merupakan gabungan dari saduran Anggaran Dasar Fransiskus (th. 1221 dan 1223), beberapa dokumen dasariah (Pola Dasar Hidup, Wasiat Fransiskus, Privilegium Paupartatis) dan aturan-aturan yang disadur seperlunya dari konstitusi-konstitusi Paus Hugolinus dan Paus lnnocentius IV; ditambah beberapa hal dari pengalaman hidup Clara sendiri. Keseluruhan Anggaran Dasar itu disusun Clara dengan memakai latar belakang kebiasaan-kebiasaan yang ada di biara kecil San Damiano. Oleh karena Clara memanfaatkan berbagai dokumen rasmi yang telah disahkan, maka Anggaran Dasar Clara itu dapat diterima oleh para ahli hukum Paus.

Selain menyusun Anggaran Dasar, ia juga menuangkan dengan utuh, panjang lebar dan terperinci mengenai panggilan dan cita-citanya ke dalam dokumen yang disebut sebagai wasiatnya. Di dalam wasiat inilah justru terungkap kepribadian Clara yang matang dan merupakan warisan bagi para saudarinya dan melalui mereka diwariskan kepada seluruh umat Allah yang selalu bergumul dangan lnjil Yesus Kristus.


Santo Arnoldus


Santo Arnoldus Janssen

Arnoldus Janssen dilahirkan pada 5 November 1837 di Goch, sebuah kota kecil di bagian barat dataran rendah sungai Rhein, Jerman. Ayahnya bernama Gerhard Janssen, seorang petani,  dan ibunya Anna Katharina Wellesen, seorang ibu rumah tangga. Mereka adalah pasutri yang bekerja keras untuk menjaga keutuhan keluarga dan pendidikan anak-anaknya. Mereka diakruniai sebelas anak, tiga diantaranya meninggal dalam usia kecil.

Keluarga Janssen adalah keluarga yang sangat religious. Mereka tidak pernah mengabaikan perayaan Ekaristi setiap hari, dan melakukan berbagai penghayatan devosi kepada Roh Kudus, Malaekat Pelindung, Hati Yesus, Rosario dan khususnya kepada Sabda Allah. Hampir setiap malam, sebelum waktu tidur, sang ayah membacakan Prolog Injil Yohanes (Yoh 1:1-18) untuk seluruh keluarga.

Kebiasaan cinta akan hal-hal rohani keluarga Janssen ini sungguh melekat dalam diri Arnoldus Janssen. Dengan tekad bulat, ia masuk seminari di Gaesdonk tahun 1849, dan menerima tahbisan imamat pada tanggal 15 Agustus 1861. Selama masa pendidikan tersebut, ia juga belajar matematika dan ilmu pengetahuan alam, sehingga setelah tahbisan, ia berkarya sebagai seorang guru sekolah menengah atas di Bocholt (1861-1873). Namun ia juga sangat berminat terhadap karya kerasulan doa yang terarah pada usaha untuk mempersatukan kembali umat Kristen, pewartaan Injil serta misi Gereja di antara bangsa-bangsa. Tidak heran, di tahun 1874, ia memprakrasai penerbitan majalah “Kleiner Herz-Jesu-Bote” (Utusan Hati Kudus Yesus) yang selalu menerbitkan gagasan tentang misi dan ekumene. Dari sinilah, tidak lama kemudian, ia melontarkan gagasan tentang pentingnya mendirikan Rumah Misi di Jerman untuk mendidik dan mengutus para misionaris ke berbagai belahan dunia.

Gagasan ini diajukan kepada Uskup Raimondi, peserta pendiri seminari Misi di Milan, Prefek Apostolik dan tidak lama kemudian kepada Uskup di Hongkong, yang kebetulan menjadi tamu Pastor Ludwig von Essen di Neuwerk dekat Mönchengladbach. Tanggapan sungguh positif, bahkan Uskup Raimondi mendesak bahwa jika tidak ada yang mau bertindak, maka Arnoldus Janssen sendiri harus mendirikan Rumah Misi tersebut.

Dengan bersusah payah, dan disertai keberanian yang luar biasa serta ketekunan yang ditopang oleh kesalehannya, akhirnya ia berhasil mendirikan rumah misi sekaligus seminari untuk mempersiapkan calon misionaris ke seluruh dunia. Dan akhirnya, pada tanggal 8 September 1875, bertempat di Steyl, Belanda, Arnoldus Janssen membuka Rumah Misi “St. Mikhael”, yang menjadi Rumah Induk “Serikat Sabda Allah (SVD).” Seiring dengan perjalanan waktu, ia juga mendirikan dua kongregasi misi para suster, yaitu SSpS pada 8 Desember 1889 dan SSpS Adorasi Abadi pada 8 Desember 1896, yang merupakan suatu Tarekat kontemplatif. Dari sini, Arnoldus Janssen sungguh menyadari bahwa karya misi haruslah selalu diletakkan pada 2 pilar utama, yakni karya dan doa.

Berawal dari Cina, sebagai cinta pertama daerah misinya,  ketiga kongregasi misi tersebut sungguh berkembang dan berkarya di seluruh belahan dunia.  Arnoldus Janssen meninggal pada tanggal 15 Agustus 1909. Pada tanggal 19 Oktober 1975, ia digelari “Beato” oleh Paus Paulus VI dan pada tanggal 5 Oktober 2003, bersama dengan Josef Freinademetz (misionaris pertama SVD), ia digelari Santo. Ia membaktikan seluruh hidupnya untuk karya misi Allah dengan selalu berkeyakinan pada kehendak Allah, sebagaimana terungkap dalam kata-katanya, “Ketika saya mendirikan Serikat ini, orang umumnya berkata bahwa pekerjaan ini tidak akan berhasil. Memang sungguh benar karena mereka melihat pada diri saya yang menyedihkan. Kendati semua ini, Tuhan telah menghendaki bahwa pekerjaan itu berhasil dan teristimewa dengan suatu cara yang tidak pernah saya pikirkan bahwa itu mungkin.”

Santa Brigita



Brigita dilahirkan sekitar tahun 1302 di Swedia dan termasuk keluarga ternama dan saleh. Tidak lama setelah kelahirannya, Brigita kehilangan ibunya yang kudus. Kemudian ayahnya memutuskan untuk membesarkan dan mendidik anaknya itu dengan bantuan seorang bibinya. Sebagai seorang anak perempuan yang masih muda, dia sudah menunjukkan suatu kecenderungan yang teguh bagi hal-hal rohani. Pada umur 10 tahun Tuhan telah mengaruniakan kepadanya penampakan dari Yang Tersalib. Pikiran perihal siksaan yang tak terperikan yang harus diderita oleh Tuhan di Kalvari, mempengaruhi anak ini sedemikian dalam sampai-sampai dia mencucurkan banyak sekali air mata dan mulai saat itu Sengsara Kudus itu menjadi bahan permenungannya.

Dia ingin mempersembahkan keperawanannya kepada Tuhan, tetapi karena ingin patuh pada keinginan sang ayah, dia menikah dengan Pangeran Ulf, seorang pemuda yang kokoh dalam keutamaan dan sangat layak bagi Brigita dalam segala hal. Keduanya menggabungkan diri dalam Ordo Ketiga supaya dapat memperkuat diri dalam karya-karya kesalehan dan laku ulah tapa. Tuhan mengaruniakan delapan orang anak kepada mereka dan Brigita menganggap sebagai tugas yang suci untuk mendidik mereka ini dalam takut akan Allah. Dari antara karya kasihnya, sangat menonjollah pelayanannya bagi orang-orang miskin dan sakit; dia menjaga mereka dengan penuh perhatian, bahkan kadang-kadang membasuk kaki dan mencium mereka.

Dalam perjalanan pulang dari Compostela, di mana mereka mengunjungi makam Rasul St. Yakobus, Ulf jatuh sakit keras di Arras. St. Denis lalu menampakkan diri kepada Brigita pada malam itu dan meyakinkan dia bahwa suaminya akan sembuh. Dia juga meramalkan baginya kejadian-kejadian yang akan terjadi dalam hidup mereka. Tidak lama kemudian Ulf masuk biara Cistersian di Alvastra dan di sana dia meninggal pada 1344 dalam aroma kesucian nan semerbak.

Brigita lalu membagi-bagikan harta kekayaannya di antara anak-anaknya dan orang miskin, lalu mengenakan pakaian kasar dengan tali sebagai ikat pinggangnya. Dan seterusnya dia menjalani suatu kehidupan yang sangat keras. Dia mendirikan sebuah biara bagi suster-suster di Vadstena dan memberi mereka Anggaran Dasar St. Agustinus. Demikianlah dia mendirikan Ordo Sang Penebus. Selanjutnya selama dua tahun lagi dia membagikan hidupnya sebagian di Vadstena dan sebagian lagi di Alvastra, tempat suaminya meninggal dunia. Kemudian, atas perintah Tuhan, dia pergi ke Roma dan di sana dia menjalani keutamaan-keutamaan yang tinggi mutunya. Dia berusaha keras demi kembalinya takhta kepausan (dari Avignon di Perancis) ke Roma dan ditugasi oleh Tuhan memberikan berbagai pesan bagi Paus Innocentius VI, Urbanus V dan Gregorius XI.
Pada 1371 dia berziarah ke Tanah Suci seturut perintah dari Tuhan sendiri. Di sana dia memperoleh rahmat-rahmat yang luar biasa dan dianugerahkan kepadanya suatu pengetahuan perihal misteri-misteri-Nya yang kudus. Sekembalinya di Italia, dia tertimpa sakit keras, yang dia derita selama satu tahun penuh. Dia pun diberitahu lebih dahulu hari kematiannya dan beralih ke kebahagiaan kekal pada 23 Juli 1373, pada usia 71 tahun. Dia dimakamkan di biara Para Klaris yang Miskin di St. Laurensius di Panisperna. Pada tahun berikutnya jenazahnya dipindahkan ke biara Vadstena di Swedia. Berkat pengantaraannya terjadilah banyak mukjizat dan Sri Paus Bonivasius IX memberikan kanonisasi kepadanya.

Sumber: The Franciscan Book of Saints, ed. by Marion Habig, ofm., © 1959 Franciscan Herald Press. Diterjemahkan oleh: Alfons S. Suhardi, OFM.

Santa Agatha


Santa Agata, Perawan dan Martir


Agata lahir di Kantania, pulau Sisilia, pada pertengahan abad ketiga. Riwayatnya dan kisah kesengsaraannya karena iman akan Kristus tidak diketahui secara pasti. Semuanya baru muncul bertahun-tahun sepeninggal perawan suci ini.

Tradisi lama menurunkan satu-dua riwayat seperti berikut: Agata adalah puteri seorang bangsawan kaya yang berkuasa di Palermo atau Kantania, Sisilia. Penderitaannya sebagai seorang Martir berawal pada masa pemerintahan kaisar Decius (249 - 251). Penderitaan itu berawal dari peristiwa penolakannya terhadap lamaran Quintianus, seorang pegawai tinggi kerjaan Romawi. Ia menolak lamaran itu karena ia telah berjanji untuk tetap hidup suci di hadapan Tuhan.

Akibatnya ia di tangkap dan dipenjarakan dengan maksud untuk mencemari kesuciannya. Semua usaha picik itu sia-sia belaka. Dengan bantuan rahmat Tuhan, Agata tetap menunjukkan dirinya sebagai mempelai Kristus yang teguh dan suci murni.

Quintianus semakin berang dan terus menyiksa Agata hingga mati. Agata menghadapi ajalnya dengan perkasa dan menerima mahkota keperawanan dan kemartirannya pada tahun 250.

Karena dipercaya bahwa Agata mempunyai kekuatan untuk mencegah dan mengendalikan letusan-letusan gunung api Etna di Sisilia, ia dimuliakan dan dihormati sebagai pelindung manusia dari ancaman-ancaman api.